Angin

To run where the brave dare not to go

10 Kekeliruan dalam Wacana Anti RUU Pornografi (Tulisan Ade Armando)

Seusai Ramadhan ini, DPR akan membicarakan kembali RUU Pornografi yang kontroversial. Ada harapan,RUU ini bisa disahkan menjadi UU sebelum akhir tahun. Kritik terhadap draft RUU yang beredar sudah banyak terdengar. Sebagian kritik  bahkan sampai pada tahap “Hanya satu kata – Lawan!”.  Sembari mengakui bahwa RU tersebut masih mengandung beberapa hal yang perlu diperebatkan, saya merasa salah satu persoalan yang mendasari ketajaman kontroversi adalah adanya kekeliruan mendasar dalam mempersepsikan dan menilai RUU ini.  Saya ingin berbagi pandangan tentang apa yang saya lihat sebagai 10 kekeliruan mendasar dalam kritik terhadap RUU. Laporan lebih lengkap tentang RUU Pornografi ini sendiri akan dimuat dalam Majalah Madina edisi Oktober ini.

Rangkaian kekeliruan cara pandang tersebut adalah:

 

1. RUU Pornografi ini bertentangan dengan hak asasi manusia karena masuk ke ranah moral pribadi yang seharusnya tidak diintervensi negara.

Argumen ini memiliki kelemahan  karena isu pornografi bukanlah sekadar masalah moral. Di berbagai belahan dunia, perang terhadap pornografi dilancarkan karena masalah-masalah sosial yang ditimbulkannya. Pornografi diakui – bahkan oleh masyarakat akademik—sebagai hal yang berkorelasi dengan berbagai masalah sosial.
Kebebasan yang dinikmati para pembuat media pornografis adalah sesuatu yang baru berlangsung sekitar 30-40 tahun terakhir. Sebelumnya untuk waktu yang lama, masyarakat demokratis di berbagai belahan dunia memandang pornografi sebagai “anak haram” yang bukan hanya mengganggu etika kaum beradab tapi juga dipercaya membawa banyak masalah kemasyarakatan.

Saat ini pun, industri pornografi yang tumbuh pesat dalam beberapa dekade terakhir dipercaya mendorong perilaku seks bebas dan tidak sehat yang pada gilirannya menyumbang beragam persoalan kemasyarakatan: kehamilan remaja, penyebaran penyakit menular melalui seks, kekerasan seksual, keruntuhan nilai-nilai keluarga, aborsi, serta bahkan pedophilia dan pelecehan perempuan. Sebagian feminis bahkan menyebut pornogafi sebagai “kejahatan terhadap perempuan”.

Karena rangkaian masalah ini, plus pertimbangan agama, tak ada negara di dunia ini yang membebaskan penyebaran pornografi di wilayahnya.    Bentuk pengaturannya memang tak harus dalam format UU Pornografi, namun dalam satu dan lain cara, negara-negara paling demokratis sekali pun mengatur soal pornografi.

Di sisi lain, argumen bahwa soal “moral” seharusnya tidak diatur negara juga memiliki kelemahan mendasar. Deklarasi Univeral  Hak-hak Asas Manusia (ayat 29), misalnya, secara tegas menyatakan bahwa pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dapat dilakukan atas dasar, antara lain, pertimbangan moral dalam masyarakat demokratis. Hal yang sama tertuang dalam amandemen Pasal 28J UUD 1945. Dengan begitu, kalaupun RUU ini menggunakan pendekatan moral pun sebenarnya tetap konstitusional.

 

2. RUU ini memiliki agenda penegakan syariah.

Tuduhan ini sulit diterima karena RUU ini jelas memberi pengakuan hukum terhadap sejumlah bentuk pornografi. RUU ini menyatakan bahwa yang dilarang sama sekali, hanyalah: adegan persenggamaan, ketelanjangan, masturbasi, alat vital dan kekerasan seksual.  Pornografi yang tidak termasuk dalam lima kategori itu akan diatur oleh peraturan lebih lanjut.

Dengan kata lain, RUU ini sebenarnya justru mengikuti logika pengaturan distribusi pornografi yang diterapkan di banyak negara Barat. Mengingat ajaran Islam menolak semua bentuk pornografi, bila memang ada agenda Syariah, RUU ini seharusnya mengharamkan semua bentuk pornografi tanpa kecuali.

Dengan RUU ini, justru majalah pria dewasa seperti Popular, FHM , ME , Playboy ( Indonesia ) akan memperoleh kepastian hukum. Mereka diizinkan ada, tapi pendistribusiannya akan diatur melalui peraturan lebih lanjut.

Memang benar bahwa kelompok-kelompok yang pertama berinsiatif melahirkan RUU ini, sejak 1999, adalah kelompok-kelompok Islam. Begitu juga dalam prosesnya, dukungan terhadap RUU ini di dalam maupun di luar parlemen, lazimnya datang dari komunitas muslim. Dalam perkembangan terakhir, bahkan pembelahannya nampak jelas: Konnferensi Waligereja Indonesia dan Persatuan Gereja Indonesia meminta agar RUU tidak disahkan; Majelis Ulama Indonesia mendukung RUU.

Namun kalau dilihat isi RUU, agak sulit untuk menemukan nuansa syariah di dalamnya. Ini yang menyebabkan Hizbut Tahrir Indonesia secara terbuka mengeluarkan kritik terhadap RUU yang dianggap mereka sebagai membuka jalan bagi sebagian pornografi. Bagaimanapun, HTI juga secara terbuka menyatakan dukungan atas pengesahannya dengan alasan “lebih baik tetap ada aturan daripada tidak ada sama sekali”.

 

3. RUU ini merupakan bentuk kriminalisasi perempuan.

Tuduhan ini sering diulang-ulang sebagian feminis Indonesia . Tapi, sulit untuk menerima tuduhan ini mengingat justru yang berpotensi terkena ancaman pidana adalah kaum lelaki. RUU ini mengancam dengan keras mereka yang mendanai, membuat, menawarkan, menjual, menyebarkan dan memiliki pornografi. Mengingat industri pornografi adalah industri yang dibuat dan ditujukan kepada (terutama) pria, yang paling terancam tentu saja adalah kaum pria.

RUU ini memang juga mengancam para model yang terlibat dalam pembuatan pornografi. Namun ditambahkan di situ bahwa hanya mereka yang menjadi model dengan kesadaran sendiri yang akan dikenakan hukuman. Dengan begitu, RUU ini akan melindungi para perempuan yang misalnya menjadi “model” porno karena ditipu, dipaksa, atau yang gambarnya diambil melalui rekaman tersembunyi (hidden camera).

Para pejuang hak perempuan juga lazim berargumen bahwa RUU ini membahayakan kaum perempuan karena banyak model yang terjun ke dalam bisnis pornografi karena alasan keterhimpitan ekonomi. Sayangnya, kalau dilihat muatan pornografi yang berkembang di Indonesia , argumen itu nampak tidak berdasar. Para model pornografi itu tidak bisa disamakan dengan para pekerja seks komersial kelas bawah yang tertindas. Para model itu mengeruk keuntungan finansial yang besar dan sulit untuk membayangkan mereka melakukannya karena keterhimpitan dalam struktur gender yang timpang.

 

4. Definisi pornografi dalam RUU sangat tidak jelas.

Secara ringkas, definisi pornografi di dalam RUU ini adalah: “”materi seksualitas melalui media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”.

Para pengeritik RUU menganggap, definisi ini kabur karena penerapannya melibatkan tafsiran subjektiif mengenai apa yang dimaksudkan dengan “membangkitkan hasrat seksual” dan “melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”. Karena kelemahan itu, para pengeritik menganggap RUU sebaiknya ditunda atau dibatalkan pengesahannya.

Kritik semacam ini tidak berdasar karena definisi soal pornografi yang lazim berlaku di seluruh dunia – kurang lebih – seperti yang dirumuskan dalam RUU itu. Ensiklopedi Encarta 2008, misalnya menulis pornografi  adalah film, majalah, tulisan, fotografi dan materi lainnya yang eksplisit secara seksual dan bertujuan untuk membangkitkan hasrat seksual. English Learner’s Dictionary (1986-2008)  mendefinisikan pornografi sebagai literatur, gambar film, dan sebagainya yang tidak sopan (indecent) secara seksual.

Di banyak negara, pengaturan soal pornografi memang lazim berada dalam wilayah multi-tafsir ini.  Karena itu, pembatasan tentang pornografi bisa berbeda-beda dari tahun ke tahun dan di berbagai daerah dengan budaya berbeda. Sebagai contoh, pada tahun 1960an, akan sulit ditemukan film AS yang menampilkan adegan wanita bertelanjang dada, sementara pada abad 21 ini, bagian semacam itu lazim tersaji di filmfilm yang diperuntukkan pada penonton 17 tahun ke atas. Itu terjadi karena batasan “tidak pantas” memang terus berubah.

Soal ketidakpastian definisi ini juga sebenarnya lazim ditemukan di berbagai UU lain. Dalam KUHP saja misalnya, definisi tegas “mencemarkan nama baik” atau “melanggar kesusilaan” tidak ditemukan. Yang menentukan, pada akhirnya, adalah sidang pengadilan. Ini lazim berlaku dalam hukum mengingat ada kepercayaan pada kemampuan akal sehat manusia untuk mendefinisikannya sesuai dengan konteks ruang dan waktu.

 

5. RUU ini mengancam kebhinekaan

Cara pandang keliru ini nampaknya bisa terjadi karena salah baca. Dalam draft RUU yang dikeluarkan pada 2006, memang ada pasal-pasal yang dapat ditafsirkan sebagai tidak menghargai keberagaman budaya. Misalnya saja, aturan yang memerintahkan masyarakat untuk tidak mengenakan pakaian yang memperlihatkan bagian tubuh yang sensual seperti payudara, paha, pusar, baik secara keseluruhan ataupun sebagian.

Ini memang bermasalah  karena itu mengkriminalkan berbagai cara berpakaian yang lazim di berbagai daerah. Tak usah di wilayah yang dihuni masyarakat non-muslim; di wilayah mayoritas muslim pun, seperti Jawa Barat, kebaya dengan dada rendah adalah lazim. Hanya saja, pasal-pasal itu seharusnya sudah tidak lagi menjadi masalah karena sudah dicoret dari RUU yang baru.

Begitu juga dengan kesenian tradisional yang lazim menampilkan gerak tubuh yang sensual, seperti jaipongan. Dalam RUU yang baru, tak ada satupun pasal yang menyebabkan  kesenian semacam itu akan dilarang. RUU ini bahkan menambahkan klausul yang menyatakan bahwa pelarangan terhadap pornografi kelas berat (misalnya  mengandung ketelanjangan) akan dianulir kalau itu memiliki nilai seni-budaya.

 

6. RUU ini akan mengatur cara berpakaian.

Sebagian pengeritik menakut-nakuti masyarakat bahwa bila RUU ini disahkan, perempuan tak boleh lagi mengenakan rok mini atau celana pendek di luar rumah. Ini peringatan yang menyesatkan. Tak satupun ada pasal dalam RUU ini yang berbicara soal cara berpakaian masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

 

7.RUU ini berpotensi mendorong lahirnya aksi-aksi anarkis masyarakat.

Para pengecam menuduh bahwa RUU ini akan membuka peluang bagi tindak anarkisme masyarakat, mengingat adanya pasal 21 yang berbunyi: “Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.”

Tuduhan ini agak mencari-cari, karena dalam pasal berikutnya, RUU menyatakan bahwa “peran serta” masyarakat itu hanya terbatas pada: melaporkan pelanggaran UU, menggugat ke pengadilan, melakukan sosialisasi peraturan, dan melakukan pembinaan terhadap masyarakat.
Dengan kata lain, justru RUU ini memberi batasan yang tegas terhadap kelompok-kelompok yang senang main hakim sendiri bahwa dalam alam demokratis, peran serta itu tak boleh ditafsirkan semena-mena.

 

8. RUU ini tidak perlu karena sudah ada perangkat hukum yang lain untuk mengerem pornografi.

Para pengeritik lazim menganggap RUU ini sebagai tak diperlukan karena sudah ada KUHP yang bila ditegakkan akan bisa digunakan untuk mengatur pornografi.
Argumen ini lemah karena sejumlah hal. Pertama, KUHP melarang penyebaran hal-hal yang melanggar kesusilaan yang definisinya jauh lebih luas daripada pornografi. KUHP pun menyamaratakan semua bentuk pornografi. Selama sesuatu dianggap “melanggar kesusilaan”, benda itu menjadi barang haram yang harus dienyahkan dari Indonesia . Dengan demikian, KUHP justru tidak membedakan antara sebuah novel yang di dalamnya mengandung muatan seks beberapa halaman dengan film porno yang selama dua jam menghadirkan adegan seks. Dua-duanya dianggap melanggar KUHP.

RUU ini, sebaliknya, membedakan kedua ragam pornografi itu. Media yang menyajikan adegan pornografis kelas berat memang dilarang, tapi yang menyajikan muatan pornografis ringan akan diatur pendistribusiannya.

Lebih jauh lagi, sebagai produk di masa awal kemerdekaan, KUHP memang nampak ketinggalan jaman. Terhadap mereka yang membuat dan menyebarkan hal-hal yang melanggar kesusilaan, KUHP hanya memberi ancaman pidana penjara maksimal 18 bulan dan  denda maksimal empat ribu lima ratus rupiah! KUHP juga tidak membedakan perlakuan terhadap pornografi biasa dan pornografi anak.

 

9. RUU Pornografi tidak perlu, yang diperlukan adalah mendidik masyarakat.

Para pengecam menganggap bahwa sebuah pornografi tidak diperlukan karena untuk mencegah efek negatif pornografi yang lebih penting adalah memperkuat kemampuan masyarakat untuk menolak dan menseleksi sendiri pornografi. Jadi yang diperlukan adalah pendidikan melek media dan bukan Undang-undang.

Argumen ini lemah karena bahkan para pendukung mekanisme pasar bebas pun, lazim mempercayai arti penting aturan. Bila pornografi memang dipercaya mengandung muatan yang negatif (misalnya mendorong perilaku seks bebas, melecehkan perempuan, mendorong kekerasan seks, dan sebagainya), maka negara lazim diberi kewenangan  untuk melindungi masyarakat dengan antara lain mengeluarkan peraturan perundangan yang ketat.

Di Amerika Serikat, sebagai contoh sebuah negara yang demokratis, terdapat aturan yang ketat terhadap pornografi yang dianggap masuk dalam kategori cabul (obscene). Di sana pun, masyarakat tak diberi kewenangan untuk menentukan sendiri apakah mereka mau atau tidak mau menonton film cabul, karena begitu sebuah materi pornografis dianggap ‘cabul’, itu akan langsung dianggap melanggar hukum.


Pendidikan untuk meningkatkan daya kritis masyarakat tetap penting. Namun membayangkan itu akan cukup untuk mencegah efek negatif pornografi, sementara gencaran rangsangan pornografi berlangsung secara bebas di tengah masyarakat, mugnkin adalah harapan berlebihan.

 

10. RUU ini mengancam para seniman.

Tuduhan bahwa RUU ini akan mengekang kebebasan para seniman juga mencerminkan kemiskinan informasi para pengecam tersebut. RUU ini justru memberi penghormatan khusus pada wilayah kesenian dan kebudayaan, dengan memasukkan  pasal yang menyatakan bahwa pasal-pasal pelarangan pornografi akan dikecualikan pada karya-karya yang diangap memiliki nilai seni dan budaya

Sumber: Milist Alumni Muslim SMA 3 Bandung

17 comments on “10 Kekeliruan dalam Wacana Anti RUU Pornografi (Tulisan Ade Armando)

  1. tutinonka
    October 24, 2008

    Tulisan yang bagus sekali, dan menambah wawasan saya tentang UU Pornografi. Saya baru saja menulis tentang UU Pornografi di blog saya (“UU Pornografi, Mengancam Atau Melindungi?”), dan tulisan ini akan menjadi penyeimbang yang sangat perlu dibaca oleh para pengunjung blog saya, oleh karena itu akan saya anjurkan pembaca blog saya untuk membaca juga artikel ini.
    Terimakasih.

    Tuti Nonka
    http://tutinonka.wordpress.com

  2. dian
    October 24, 2008

    hmm, good!
    thanks, i can suggest ur post for my friend 🙂

  3. Donny Danardono
    October 28, 2008

    Tulisan ini buruk sekali. Khususnya yang berkaitan dengan ‘definisi pornografi’. Definisi itu ‘…. meteri yang membangkitkan gairah seksual…’ jelas definisi yang tak obyektif. Tak semua orang terangsang dengan ketelanjangan atau gambar porno. Bahkan gambar-gambar porno cenderung membosankan.

    Tapi Ade membela definisi itu dengan mengatakan definisi itu juga ada pada uu anti pornografi di berbagai negara lain. Haiiya… Ade sama sekali tak menjawab bahwa definisi itu subyektif. Ia malah bilang dinegara lain juga begitu. Ini jawaban yang buruk sekali.

    Semoga Ade sadar… kalau telah tersesat dan menyesatkan bangsa ini….

    donny danardono

  4. Muhammad Rihan Handaulah
    October 28, 2008

    Bung doni lupa, bahwa pengecualian dan anomali akan selalu ada, dalam jumlah yang kecil. baik dalam fenomena alam maupun fenomena sosial. Seandainya eksepsi dan anomali ini selalu menjadi constrain dan membatalkan aturan-aturan untuk yang umum dan normal, maka tidak akan ada satu pun nilai, norma, dan dan aturan yang tegak di sejarah umat manusia di muka bumi ini. Atau barangkali bung doni termasuk yang tidak tergoda ya dengan melihat yang begituan? Selamat ya. Tapi di luar sana orang-orang merintih menahan libidonya karena media dan tampakan yang makin senonoh. Maka meluncurlah berita-berita kriminal seksual hampir tiap hari di media-media kita.

    Hmm bung doni, emosional juga ya
    “Semoga Ade sadar… kalau telah tersesat dan menyesatkan bangsa ini…”
    Perkataan judgement macam ini sama sekali tidak baik, sehingga para pembaca yang obyektif bisa menilai, siapa yang “lebih” menggunakan nalar dan nuraninya dalam menanggapi isu RUU pornografi ini.

  5. ayyash
    October 28, 2008

    Saya senang sekali dengan tulisan ade armando di atas. Memang kapabilitasnya dalam ilmu komunikasi tidak diragukan lagi. Apalagi setelah melihatnya ada di acara debat di TV One. makin terlihat hujjah mana yang kuat dalam RUU pornografi ini.

    Saya juga bikin ulasan tentang RUU pornografi di ayyashcreative.blogspot.com semoga dapat membuka mata kita dengan jelas duduk perkaranya. Khususnya untuk bung doni

  6. fikrimet05
    October 28, 2008

    ayo dukung sahkan ruu pornografi..
    untuk masa depan lebih cerah!!

    ruu pornografi, yes!!
    bhineka tunggal ika, yes!!

  7. ryansight
    October 29, 2008

    hmm… masih ada lagi ga kang argumen yang menentang RUU pornografi ini?

    ngomong-ngomong, saya heran kalau ada wanita yang gigih menolak RUU Pornografi ini. bukannya selama ini wanita dieksploitasi oleh pornografi, menjadi komoditas bisnis dan direndahkan?

    tapi bagus juga lo kang ada yang mengkritisi RUU ini. buktinya memang ditemui kelemahan-kelemahan dan lalu disempurnakan.

  8. armyalghifari
    November 2, 2008

    panjang pisan nulisnya… (ga nyambung ya? hehehe…)

    sip. keep writing bro!! 😀

  9. 37degree
    November 4, 2008

    alhamdulillah,akhirnya RUU PP disahkan juga

    perjuangan masih belum berakhir tampaknya
    PP masih bisa bersembunyi dibalik topeng yg namanya kreativitas dan seni dgn hanya mengganti nama… seperti film ML…

    smg setiap hati yg meradang bisa semakin lapang
    bahwa semua ini bukannya utk mematikan kreativitas dan seni, tapi menjadikannya tinggi dan mulia… di sisi-Nya

  10. Pingback: Gandeng: Pro-Kontra RUU Pornografi « Catatan Acak Muhammad Yorga

  11. masbadar
    November 5, 2008

    alhamdulillah..
    akhirnya ada tulisan yang baik..

  12. soerdjak
    November 12, 2008

    hmm… harusnya ini disahkan sejak jama proklamasi dulu, jadi aura negatip karena porn ga sedasyat saat ini.
    tapi..ga ada kata terlambat utk yg satu ini. 😀

  13. Rahmat Ramadan
    November 27, 2008

    Bacalah dgn menyebut Nama Tuhanmu Yang Menciptakan..
    Subhanallah..bagus banget tulisannya..

  14. fitri mutiara
    December 20, 2008

    bagus sekali tulisannya..

    lagi gugling2 tentang ruu app, eh ada blog yg mereferensi ke rihan.

    betul, secara logika pun, ruu app jelas penting. masyarakat tidak seharusnya skeptis dan berkilah ini-dan-itu. ada suatu hal yg jelas merusak masyarakat dan harus dibenahi kok malah ditentang.

    • Muhammad Rihan Handaulah
      December 25, 2008

      makasih fitri, tapi ini bukan tulisan ku kok, hehe
      anyway, jika masyarakat memang berpikir logis dan rasional pastilah mereka akan menemukan, betapa aturan-aturan Allah swt sangat sangat indah dan membimbing kehidupan manusia ke arah keadilan dan kesejahteraan.

  15. paras
    April 2, 2009

    Tapi di luar sana orang-orang merintih menahan libidonya karena media dan tampakan yang makin senonoh. Maka meluncurlah berita-berita kriminal seksual hampir tiap hari di media-media kita.<—-Buat Mas yang Nulis ini, pemerkosaan mah dah banyak dari dulu, sekarang aja kelihatan makin banyak karaena dah terekspos media, masalah moralitas dan norma tentang cara bepakaian itu beda di setiap tempat, coba mas tanya sama orang papua, ngaceng ga liat cewe twelanjang dada? ngga mas…. karna dah biasa……wajar bagi mereka. tapi tanya ma orang yang berdomisilili di mekah? liat betis cewe aja dah bikin heboh…..!!

  16. paras
    April 2, 2009

    Secara ringkas, definisi pornografi di dalam RUU ini adalah: “”materi seksualitas melalui media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”.<— nilai-nilai kesusilaan kan bebeda disetiap daerah? mau digeneralisasi?? ga kebayang orang papua 200 tahun mendatang jadi bangkit hasrat seksualitasnya ngeliat payudara wanita, gara2 didoktrin undang2 UUPA, ga ke bayang tari jaipongan bakalan dilarang gara2 cowo bangkit gairah seksualitasnya karena di doktrin sama UUPA kalau itu porno, kata “dapat” membangkitkan hasrat seksualitas dengan “bertujuan” itu beda!!

Leave a reply to Muhammad Rihan Handaulah Cancel reply

Information

This entry was posted on October 18, 2008 by in Politik dan Ekonomi and tagged , .