Angin

To run where the brave dare not to go

Catatan Pembelajar (12): Resiko Para Pemimpi

“Kita kalah ma”, 

“Kita telah melawan nak, nyo, sebaik-baiknya, sebenar-benarnya”

(Nyai Ontosoroh kepada Minke, Bumi Manusia -PAT-)

 

Dari film-film bertemakan hero atau epik ada beberapa yang saya sukai antara lain Spiderman, The Dark Knight, The Last Samurai, dan Trilogy Lord of The Ring. Apa kesamaan dari film-film tersebut? Semuanya menampilkan sosok si pahlawan dalam cita rasa yang sangat manusiawi. Dalam spiderman dikisahkan beliau pun sempat menjadi jahat. Imannya tergoda oleh syahwat kekuasaan karena merasa diri sebagai superhero. Setan pun membisiki nya untuk menyimpang dari fitrah kepahlawanannya dengan godaan kostum warna hitam yang lebih jago namun penuh dengan syahwat dan ketamakan, hingga akhirnya Spiderman bermuhasabah dan melakukan taubatan nasuha. The Dark Knight berhasil mengobati kemuakan saya terhadap superhero Hollywood yang selalu digambarkan berlebihan. Kali ini Batman menghadapi musuh yang lebih tangguh darinya hingga ia sendiri mengalami frustasi, serta sahabatnya pun akhirnya menjadi musuhnya (two faces). Ending-nya juga cukup “make sense” dan manusiawi bagi saya.

The Last Samurai menceritakan tentang Nathan Algren, seorang desersi pemabuk dari Amerika yang harus dikirim ke Jepang untuk mengajar tentara Jepang menggunakan senjata. Di sana ia bertemu seorang Samurai bernama Katsumoto yang menolak perubahan besar-besaran dalam tubuh kekaisaran Jepang waktu itu atau yang dikenal dengan Restorasi Meiji. Selanjutnya yang menjadi sentral cerita peperangan adalah Katsumoto yang akhirnya pun mati. Nathan Algren tidak menjadi apa-apa, ia pulang ke negerinya tidak sebagai apa-apa. Sedangkan LOTR menggambarkan kepahlawanan kolektif, menihilkan seorang superhero yang bisa membuat perbedaan dan melakukan semuanya sendirian. Bahkan tokoh sentralnya ialah malah tokoh yang paling lemah; Frodo Bagins si Hobbit yang hanya memiliki satu hal; ketulusan.

Tapi yang terbaik dari yang terbaik menurut saya ialah Braveheart yang menceritakan pahlawan orang-orang Skotlandia; William Wallace. Apa yang membuat saya memilih Braveheart sebagai film epik yang terbaik dari yang terbaik? Alasannya satu; karena jagoannya kalah dan mati di akhir. Perjuangannya ditumpas, pengikutnya pun binasa. Epik ini keluar dari pakem hollywood (juga sinetron) di mana pahlawan harus menang di akhir episode. Kematiannya pun tragis (tidak sebagai Katsumoto di Last Samurai yang musuhnya pun berlutut padanya saat ia mati), ia mati dengan siksaan sangat keji waktu itu dalam hukum kerajaan Inggris di zaman King Edward I yaitu; hanged, drawn, and quartered. Yaitu digantung (tidak sampai mati), dikeluarkan isi perutnya serta dipotong alat vitalnya, serta terakhir dibunuh dengan cara dibelah empat tubuhnya. (Terlalu sadis? Tentu saja, ingat bung ini zaman “The Dark Age of Europe” saat sejarah kemanusiaan dan akal sehat ada di titik nadirnya).

Mengapa Braveheart (bagi saya) sedemikian menyentuhnya dan terasa sebagai epik yang manusiawi sekali? Karena berbeda dengan film-film lain di atas, William Wallace adalah pahlawan yang memang pernah ada dalam sejarah Britania Raya. Dan demikian juga pahlawan-pahlawan (bagi bangsanya masing-masing) yang ada dalam ingatan kita; Che Guevara yang mati ditembak dalam gerilya di Hutan Bolivia, Tan Malaka yang makamnya entah di mana dan negerinya belum merdeka sepenuhnya. Sayyid Quthb yang syahid di tiang gantungan sang tiran saat gerakannya diberangus, Hasan al Banna yang syahid dengan berondongan peluru saat organisasi yang didirikannya masih berumur sangat muda, Dr Abdullah Azzam yang syahid dalam bom mobil saat Aghanistan yang diperjuangkannya masih dalam kangkangan Uni Sovyet, Syekh Ahmad Yassin yang hingga hari ini Palestinanya belum menemukan titik terang, dan masih banyak lagi. Dalam sejarah, sebagian besar mereka yang kita kenal sebagai pahlawan mati sebelum melihat mimpinya menjadi nyata. Sedikit sekali dari mereka yang menikmati buah mimpinya saat itu juga.

Kita lihat pula dalam sirah perang khandaq, Rasulullah saw pernah berjanji bahwa “Istana Romawi, Istana negeri Syam, Istana Kisra di Persia akan ada di tangan Umat Islam”. Apakah Rasul saw menyaksikan mimpi itu menjadi kenyataan? Atau pun di generasi orang-orang yang saat itu mendengar langsung mimpi itu? Tidak!.

Majalah The Economist bulan Desember kemarin memberi laporan menarik tentang GNH (Gross National Happiness) atau “indeks persepsi kebahagiaan”. Ini semacam alat ukur alternatif dari alat-alat ukur konvensional yang digunakan dalam ilmu ekonomi konvensional ataupun pengambilan kebijakan seperti pertumbuhan ekonomi, produk domestik bruto, pendapatan per kapita, dan sebagainya. Menarik karena yang diukur adalah perasaan sejumlah orang yang disurvei yang tentu saja sangat subjektif. Bukan sesuatu yang matematis seperti uang atau barang yang terukur besarannya. Dan sejumlah subjektifitas ini digabungkan menjadi sesuatu yang dianggap objektif dan general. Pastinya banyak bias di sana sini dan tidak bisa digeneralisasi secara mutlak, tapi parameter ini bagi saya tetap menarik untuk dibicarakan. Salah satu pelopor parameter ini ialah Presiden Perancis Nicholas Sarkozy yang meminta bantuan dua orang nobelis ekonomi; Amartya Sen dan Joseph Stiglitz.

Sekarang saya tidak akan berbicara lebih detil tentang semua isi laporan tersebut, melainkan hanya satu poin saja. Yaitu indeks kebahagiaan dibandingkan terhadap umur (rentang kehidupan). The Economist menyajikan data yang menarik, yaitu kurva indeks kebahagiaan terhadap usia ialah berbentuk U. Indeks kebahagiaan berada di nilai yang tinggi mulai dari usia kanak-kanak hingga sebelum usia 20. Lalu mulai usia 20-an kurva nya terus turun terjun bebas hingga mencapai titik nadirnya di usia 30-40. Lalu nilainya tetap rendah walau perlahan meningkat hingga di akhir usia 40-an. Lalu kembali naik tajam seperti nilai sebelumnya di umur belasan.

Apa yang menarik dari kurva tersebut? The Economist dengan analisisnya yang lebih lanjut menyimpulkan bahwa usia 20-40 an di mana pada umumnya orang tidak bahagia. Di masa itu seseorang penuh dengan ambisi, cita-cita, dan target yang harus dikejar. Kebahagiaan dikalkulasi dan dikuantifikasi menjadi nilai dan ukuran-ukuran tertentu. Ada yang berambisi mencapai jenjang karir tertentu, ada yang mengkuantifikasikannya dalam sejumlah uang, ada yang mengukurnya dengan target gelar akademis tertentu. Dan saat itulah pada umumnya orang merasa jauh tidak bahagia dibanding masa kanak-kanaknya yang “fearless” maupun masa tuanya yang “less expectation and more acceptance”

Bagi saya Laskar Pelangi adalah novel yang luar biasa. Maaf, lebih dari sekedar novel, ialah dian yang menyalakan asa anak-anak negeri ini untung mau bermimpi, bercita-cita. Namun tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Andrea Hirata, mari kita refleksikan Laskar Pelangi ini ke kehidupan kita di negeri ini. Saya tidak hendak memadamkan optimisme melainkan saya ingin mengajak berpikir realis dan objektif, agar kaki kita tetap berpijak di tanah.

Apakah anda juga seperti saya yang meyakini bahwa ada banyak laskar pelangi-laskar pelangi lain di negeri ini dalam bentuknya masing-masing. Saya percaya bahwa ikal, lintang, dan sahabat-sahabatnya ialah simbol dari apa yang terjadi di negeri ini. Simbol dari anak-anak bangsa yang ada di pelosok negeri, mereka yang punya mimpi dan cita-cita. Sama seeprti saya, kamu, dan kita semua dulu waktu masih kecil. Yang bermain dan bermimpi sama seperti laskar pelangi itu. Lalu diceritakanlah Arai dan Ikal yang berhasil menemuakn mimpinya “menjejakan kakinya di altar pengetahuan sorborne”. Dan saat memaca novel itu hati saya menangis saat membaca cerita Lintang yang berakhir hanya sebagai “orang biasa”, tanpa mengurangi rasa hormat saya, sebagai pekerja galangan kapal.

Saya menangisinya karena saya rasa Lintang ialah gambaran yang lebih nyata dan terjadi pada lebih banyak anak negeri ini, daripada Ikal dan Arai. Pendidikan yang mestinya menjadi kendaraan mobilitas sosial yang adil dan egaliter telah menjadi bagian dari sistem untuk melanggengkan kemapanan, saat orang-orang miskin tidak mendapatkan keadilan untuk mengaksesnya dengan kesempatan yang sama. Maka mandul lah peran pendidikan dalam hal ini. Maka jadilah lingkaran setan kemiskinan di mana orang-orang miskin menjadi tetap kekurangan gizi karena tidak punya uang, dengan kondisi gizinya yang buruk ia tidak bisa belajar dengan baik dan bahkan ia pun sulit menjangkau sarana pendidikan yang baik itu, karena lemah dalam pendidikannya maka kaum miskin tetap miskin karena tidak bisa lebih produktif lagi. Inilah negeri ini. Negeri yang tidak memihak pada Lintang dan jutaan teman-temannya

….

Masihkah aku berani bermimpi?

Duri, 24 Januari 2011

One comment on “Catatan Pembelajar (12): Resiko Para Pemimpi

  1. eibidifaiq
    January 29, 2015

    Reblogged this on eibidifaiq and commented:
    hahaha keren kang, izin reblog yaa ;D

Leave a comment